Close Menu
Dongeng PosoDongeng Poso
  • Beranda
  • Penulis
Facebook X (Twitter) Instagram
Dongeng PosoDongeng Poso
  • Beranda
  • Penulis
Dongeng PosoDongeng Poso
Beranda » Burung Kum-Kum dan Burung Alo
Laolita

Burung Kum-Kum dan Burung Alo

Diceritakan kembali oleh Lian Gogali
Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr WhatsApp Email
Share
Facebook Twitter LinkedIn WhatsApp Pinterest Email

Di hutan Poso yang lebat, di berbagai jenis pohon yang rindang, hidup beragam jenis burung. Suara burung-burung ini selalu menyemarakkan suasana hutan. Burung-burung ini juga suka bersolek dan berpesta. Tidak heran ketika mereka menunjukkan bagian badan mereka yang warna warni itu memperindah hutan. 

Salah satu burung yang terlihat sangat menonjol adalah burung Kum-kum. Burung Kum-kum itu bernama Pune. Pune memiliki hiasan putih di bagian dadanya. Hiasan itu menyerupai kalung putih yang indah. Pune memberi nama hiasan di dadanya itu Pantego. Pune sering memamerkan pantego miliknya di setiap pesta antar burung yang dihadirinya.

Suatu hari, datang undangan pesta di pohon tempat Alo tinggal. Alo adalah teman Pune. Akan tetapi entah kenapa, Pune sendiri tidak diundang. Menurut kabar di antara para burung, Pune dianggap terlalu sering memamerkan pantego miliknya sehingga pesta seakan-akan berpusat hanya pada Pune. Pemilik pesta tidak mau hal itu terjadi di pesta yang diadakannya.

Mengetahui Pune tidak diundang, Alo lalu mendatangi Pune. “Pune, pinjamkan saya Pantegomu ya,” kata Alo. 

Namun Pune menolak. Dia enggan meminjamkan Pantego miliknya. Pune masih kesal karena dia tidak diundang dalam pesta itu.Alo lalu membujuk Pune dengan mengatakan, 

“Semua burung-burung tahu kok kalau Pantego yang kupinjam itu adalah milikmu. Jangan sampai nanti mereka melupakan Pantego milikmu hanya karena kamu tidak hadir di pesta.” Begitulah rayu Alo kepada Pune.

Pune berpikir sejenak. Dalam hatinya dia merasa kalau apa yang dikatakan Alo itu ada benarnya juga. Kalau Pantego miliknya dipinjamkan ke Alo, semua kawanan burung masih akan tetap membincangkan keindahan Pantego miliknya. Mereka akan tetap ingat pada Pune. Akhirnya, Pune pun meminjamkan Pantego miliknya kepada Alo. Alo sangat senang. 

Di dalam pesta, Alo kini menjadi pusat perhatian. Itu semua karena Alo menggunakan Pantego milik Pune. Beberapa bahkan mengatakan, pantego itu cocok sekali dan nampak sangat indah di leher Alo. Alo pun menjadi mabuk pujian dan lupa diri. Dalam hati, dia berkata,

“Seharusnya saya yang lebih pantas memiliki pantego ini”

Pesta kini sudah usai. Burung-burung masih membicarakan Pantego milik Pune yang digunakan oleh Alo. Pune yang mendengarnya merasa gelisah. Pune kemudian mendatangi Alo untuk meminta kembali Pantego miliknya. 

“Alo, kembalikan Pantego milikku”

Pune berteriak di luar rumah si Alo. Tidak ada sahutan dari dalam. Hari itu Pune tidak bisa menjumpai Alo. Menurut tetangganya, Alo sedang pergi ke hutan sebelah untuk memamerkan Pantego di dadanya.

Pune datang kembali keesokan harinya. 

“Alo, kembalikan Pantego milikku” 

Namun, Alo masih juga belum kembali. Menurut tetangganya lagi, semalam Alo pulang larut. Pagi-pagi sekali Alo sudah pergi lebih jauh ke hutan yang lain untuk menunjukkan Pantegonya. Pune terkejut. Kini dia merasa, Pantego yang dipinjamkan ke Alo seakan-akan sudah menjadi milik Alo.

Hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan. Pune tetap tidak kunjung berhasil menemukan Alo. Pune berusaha mencarinya ke banyak hutan, namun yang didengarnya hanyalah cerita-cerita kawanan burung tentang indahnya Pantego yang dimiliki Alo. 

Setelah beberapa bulan, Alo akhirnya kembali. Namun Pune tetap tidak bisa meminta kembali Pantego miliknya. Pantego itu telah semakin melekat di leher Alo. Pune merasa sangat sedih.

“Alo, kenapa kau begitu kepada saya. Katamu kamu hanya akan meminjam sebentar dan mengembalikannya padaku begitu selesai pesta. Kenapa kamu menjadikan barang pinjaman menjadi milikmu? 

Alo tidak menjawab. Dia melengos membiarkan Pune menangis sedih. Dia menyahut dan mengatakan,

“Pantego ini lebih pantas buatku”

Pune semakin menangis tersedu-sedu. Kini tidak ada yang percaya bahwa Pantego itu sebenarnya adalah milik Pune. 

Burung Alo akhirnya memiliki hiasan putih di lehernya hingga saat ini. Hingga saat ini, cerita tentang Pantego yang seharusnya milik Pune dikisahkan kembali oleh orang-orang di kampung untuk mereka yang tidak mengembalikan barang pinjaman dengan istilah Sabo-sabo Alo.

Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr WhatsApp Email
Sekretariat Mosintuwu

Add A Comment
Leave A Reply Cancel Reply

Dongeng Lainnya

Burung Kum-Kum dan Burung Alo

By Sekretariat Mosintuwu13 Oktober 2025

Di hutan Poso yang lebat, di berbagai jenis pohon yang rindang, hidup beragam jenis burung.…

Manu Warale

13 Oktober 2025

Tikus Dan Tiram

13 Oktober 2025

Nyanyian Boti

13 Oktober 2025
Penulis

Lian Gogali

Kezia Tabunggi

Indry Kanina

Ferny To’umbo

Hubungi Kami
Hubungi Kami

Gang Mosintuwu No.1 , Yosi, Pamona Puselembah, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Indonesia, 94663.

Telp : 081245734576

sekretariat.mosintuwu@gmail.com

Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest
  • Beranda
  • Penulis
© 2025 Institut Mosintuwu.

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.