Di hutan Poso yang lebat, hidup sekumpulan hewan yang tinggal di pepohonan. Salah satu kumpulan hewan itu adalah monyet hitam. Mereka tinggal di pepohonan yang tinggi, besar, dan bercabang banyak. Monyet hitam sangat suka bergelantungan dan melompat dari satu pohon ke pohon yang lain.
Salah satu monyet hitam yang terkenal di hutan itu, bernama Boti. Tubuhnya tinggi, besar, dan kekar. Bulu di seluruh tubuh Boti berwarna hitam gelap yang mengkilap. Boti terkenal karena dia memiliki suara yang merdu. Keindahan suara membuatnya sangat percaya diri. Dia tinggal di sebuah pohon sagu yang besar dan tinggi dengan lubang menganga di tengah batang pohonnya.
Pada awalnya, semua hewan menyukai Boti jika ia bernyanyi. Suaranya memang terdengar merdu dan lantang . Mereka suka meminta Boti untuk menyanyikan lagu kesukaan mereka. Pagi-pagi akan ada yang meminta Boti menyanyikan lagu yang membuat semangat bangun pagi. Siang hari akan ada yang meminta Boti menyanyikan lagu yang ceria. Jika malam hari, Boti diminta menyanyikan lagu untuk membuat mereka tertidur. Dengan permintaan itu, Boti jadi senang sekali bernyanyi. Bernyanyi sepanjang hari.
Tetapi, lama kelamaan, hewan-hewan lain mulai merasa bosan dan mulai merasa kesal. Boti kini bernyanyi tak kenal waktu. Bahkan meski tidak ada yang meminta, Boti tetap bernyanyi. Boti bernyanyi sejak matahari belum terbit. Boti juga bernyanyi di siang hari saat hewan-hewan istirahat. Boti bahkan bernyanyi hingga malam hari ketika semua sudah tertidur.
Para hewan tidak berani mengungkapkan kekesalan mereka ke Boti. Mereka takut karena tubuh Boti yang lebih besar dan kuat. Akan tetapi, semakin lama mereka tidak kuat lagi. Tangkasi si tarsius, sejenis monyet yang berbadan kecil yang pertama kali memberanikan diri menegur Boti. Dengan takut-takut dan bersuara pelan, Tangkasi berkata ke Boti.
“Boti, tolong hentikan nyanyianmu, kepalaku sedang sakit” tegur Tangkasi.
Kemudian Kuluri si burung endemik cantik Sulawesi ikut menegur Boti dari dahan pohon paling atas.
“Boti, anak-anakku sedang tidur, suaramu mengganggu mereka.”
Akan tetapi Boti tidak mau mendengar. Dia berpikir, semua penghuni hutan perlu mendengarkan suaranya.
Tumpa, katak Sulawesi bertubuh kecil, juga merasa terganggu. Tumpa muncul dari balik akar pohon, dia juga mau menyampaikan protesnya tentang nyanyian Boti yang mengganggunya. Dia pun berteriak memanggil Boti. Namun, tubuhnya yang kecil dan suaranya yang kecil, tenggelam dengan suara Boti yang terus saja bernyanyi dengan lantang.
Suatu malam, ketika Boti sedang bernyanyi. Dalam lagunya, Boti memuji keindahan bulan yang disamakannya dengan warna bulunya yang indah.
“Bulan indah, warnamu seperti warna buluku, indahnya…”
”
Saat Boti sedang bernyanyi itu, tiba-tiba terdengar suara yang lantang.
“Ya ampun Boti, katamu warna bulumu indah seperti warna bulan? Tapi sebenarnya warna bulan bercahaya, dan bulumu tidak bercahaya.”
Boti terdiam kaget mendengar suara itu. Boti lalu berseru, “Siapa kamu, tunjukkan dirimu, berani-beraninya kamu mengatakan itu!”
Setelah lama menunggu, tidak terdengar jawaban. Boti pun melanjutkan nyanyiannya. Lagi-lagi suara itu kembali terdengar.
“Ah… Boti sudah ku bilang jangan berbohong, hentikan saja nyanyianmu.”
Boti merasa kesal. Dia mencari-cari di sekelilingnya, tapi tidak menemukan siapa-siapa. Boti kemudian melompat dan bergelantungan ke pohon yang lain. Ketika menemukan pohon besar lain, Boti kemudian mulai bernyanyi. Akan tetapi, suara itu kembali terdengar. Kemanapun Boti berpindah dan bernyanyi, suara itu selalu terdengar. Sejak pagi hari, siang dan malam, suara itu terselip diantara nyanyian Boti. Keesokan harinya, suara itu kembali terdengar.
“Boti hentikan nyanyianmu!”
Boti merasa sangat marah. Dengan suara keras, Boti berseru, “Siapa kamu yang berani-beraninya berkata begitu tentang nyanyianku? Suaraku indah, semua harus dengar. Siapa itu, hah?. Tunjukkan dirimu! ”
Suara itu kemudian menyahut,
“Boti, aku tidak bisa menunjukan diriku, karena aku adalah dewa penjaga hutan. Aku sudah sejak lama memperhatikanmu. Selama ini kamu suka mengganggu teman-teman dengan nyanyianmu yang tidak kenal waktu. Kamu membuat mereka tidak bisa istirahat karena nyanyianmu sepanjang waktu.”
Boti terkejut mengetahui suara itu adalah suara dewa penjaga hutan.
“Oh, tapi aku sangat suka bernyanyi wahai dewa penjaga hutan.” Suara Boti menjadi pelan.
Dipikirannya, dewa penjaga hutan itu seperti makhluk hitam yang sangat besar yang memiliki gigi tajam. Badannya pasti lebih besar dari dirinya. Dengan suara bergetar karena ketakutan, Boti memberanikan diri bertanya :
“Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku tidak boleh lagi bernyanyi?” Suara itu menyahut,
“Bukan begitu. Aku tahu kamu suka menyanyi, suaramu merdu, tapi caramu yang salah. Kamu terus bernyanyi tanpa mengenal waktu, teman-temanmu menjadi terganggu. Apakah kamu sendiri suka jika terganggu?”
Boti terdiam.
Suara itu kembali melanjutkan,
“Tentu saja kamu bisa tetap menyanyi, tapi kamu harus melihat situasi dan waktu. Jangan sampai nyanyianmu tidak dinikmati namun justru mengganggu. Kalau nyanyianmu terus mengganggu yang lain, lama kelamaan suaramu akan hilang”
Keesokan harinya, suasana hutan terasa tenang. Hewan-hewan di hutan Poso merasa heran, tidak ada lagi suara nyanyian Boti. Beberapa diantara mereka mencoba mencari tahu dimana Boti. Mereka melihat Boti terdiam di tempatnya tinggalnya. Wajahnya tampak tidak bersemangat. Hari itu tidak nyanyian dari Boti. Meskipun heran, hewan lain merasa senang karena tidak lagi terganggu.
Di dalam lubang di tubuh pohon sagu yang tinggi besar, seekor ulat sagu tersenyum. Ulat sagu berbadan gemuk dan berwarna putih. Namanya, Aweh. Ulat sagu tinggal di lubang tempat tinggal Boti.