Dahulu kala di tepi Danau Poso, terdapat sebuah desa bernama Desa Lalambatu. Di desa ini hidup sebuah keluarga kecil yang bahagia. Si bapak bernama Rugalia, si ibu bernama Sinolidi. Sinolidi dikenal oleh seluruh kampung karena suaranya yang merdu. Keduanya dikaruniai seorang anak perempuan yang cantik. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang sangat tampan.

Masyarakat Desa Lalambatu memiliki tradisi saling membantu dalam banyak hal, termasuk dalam berkebun. Tradisi ini bernama Mesale. Dalam bahasa suku Pamona, Mesale artinya bekerja sama atau saling membantu Saat Mesale, setiap keluarga akan mengutus salah satu anggota untuk pergi ikut bekerja di kebun. Tradisi ini sudah dilaksanakan sejak turun temurun.
Suatu hari, warga Desa Lalambatu akan Mesale di kebun salah seorang warga yang terletak di atas bukit. Sayangnya, Rugalia tidak bisa pergi Mesale. Kebun jagung mereka sedang berbuah dan tinggal
menunggu hari untuk di panen. Rugalia takut untuk meninggalkan kebunnya. Jika jagung-jagungnya tidak dijaga dan tidak dipanen pada saatnya, akan ada hama yang memakannya. Hama kebun-kebun jagung adalah para boti atau monyet berwarna hitam.
Akan tetapi, Sinolidi merasa keputusan Rugalia kurang bijak. Sebagai sesama warga desa yang selalu saling bantu, tidak enak rasanya jika keluarganya tidak ada yang ikut Mesale. Sinolidi kemudian mengusulkan agar dirinya saja yang menjaga kebun jagung bersama anak mereka yang masih kecil.
“Saya saja yang menjaga jagung, supaya ada dari keluarga kita yang bisa ikut Mesale”
Namun Rugalia bersikeras agar dia yang melakukannya. Rugalia juga berkata bahwa meski nanti dia tetap tinggal dan menjaga kebun, anak mereka harus ikut Sinolidi. Rugalia beralasan tidak akan bisa menjaga anak mereka karena akan sibuk memanen.
Ternyata sebenarnya Rugalia membuat janji dengan beberapa orang tetangga kebun untuk membuat saguer atau tuak dari pohon Nira. Pohon Nira memang banyak tumbuh di sekitar kebun mereka. Saat yang lain ikut Mesale, mereka jadi punya alasan untuk bisa membuat dan kemudian minum saguer sepuasnya tanpa diketahui oleh yang lain. Namun alasan ini tidak diketahui Sinolidi.
Sinolidi tidak berkeberatan pergi Mesale.Tetapi, Sinolidi berat hati mempertimbangkan kesehatan anak mereka jika dibawa pergi ke bukit yang jauh.
“Lalu bagaimana dengan anak kita? Siapa yang akan menjaga dia saat saya bekerja disana?” kata Sinolidi meminta pengertian Rugalia. Namun Rugalia tetap pada keputusannya.
Demi menjaga nama baik keluarga, akhirnya Sinolidi mengalah. Dia yang akan menggantikan suaminya untuk pergi Mesale Sinolidi menyiapkan alat berkebun dan mengikuti rombongan untuk Mesale sambil menggendong anaknya.
Untuk menghindari cahaya matahari yang terik, dia memakaikan anaknya tinii atau caping. Tinii bundar lebar itu terbuat dari anyaman daun sagu. Sangat cukup untuk melindungi anaknya yang masih kecil dari panas sinar matahari.
Ternyata tempat Mesale sangat jauh. Sinolidi dan para warga harus melewati jalan yang terjal. Hampir sepanjang jalan mereka harus mendaki tebing berbatu dan licin. Bahkan tidak berjarak jauh dari pijakan mereka, ada jurang yang dalam. Mereka juga menyeberangi sungai berbatu besar dan berarus deras. Beberapa kali kaki Sinolidi terantuk batu hingga membuat dia dan anak yang digendongnya hampir terjatuh.
Matahari mulai bersinar terik ketika akhirnya rombongan sampai di sebuah hamparan lahan yang sedikit datar di atas bukit. Dari atas bukit, kampung mereka terlihat. Rumah-rumah beratap rumbia nampak sangat kecil, menandakan kebun itu sangat jauh.
Setelah beristirahat sejenak, mereka kemudian mulai bekerja membersihkan rerumputan dan semak-semak. Beberapa pohon ditebang agar sinar matahari bisa masuk. Pohon lainnya dibiarkan tetap berdiri. Sinolidi membawa sebilah parang, dia bertugas membersihkan semak-semak.
Srek, srek, srek. Tebasan parangnya yang tajam membuat batang-batang semak rubuh. Sinolidi melakukan itu sambil menggendong anaknya. Sesekali anaknya ditaruh di bawah pohon yang masih berdiri meneduhkan. Beberapa kali Sinolidi berhenti untuk melihat anaknya atau menggendong anaknya sejenak ketika menangis. Terkadang anaknya menangis karena bosan atau karena gigitan semut. Namun setelah tenang, dia kembali mengayunkan parangnya Srek-srek-srek.
Matahari tepat di atas kepala mereka sepakat beristirahat. Sinolidi dan warga lainnya bersantap siang dari makanan yang disiapkan pemilik kebun. Lokasi kebun yang mereka kerjakan kini jadi terlihat luas dan bersih. Lahan itu sebentar lagi akan siap ditanami.
Hari menjelang sore, langit terlihat mulai mendung. Sinolidi melihat anaknya yang tengah tertidur di ayunan yang dibuatnya di bawah sebuah pohon. Dia khawatir jika pulang terlalu sore menjelang malam, anaknya akan sakit. Angin di bukit itu memang dingin sekali.
Sinolidi kemudian menyampaikan ke warga yang lain untuk pulang terlebih dahulu. Lagi pula pekerjaan dengan Mesale juga sudah selesai, tinggal sedikit beres-beres. Mesale memang membuat pekerjaan besar menjadi lebih cepat selesai. Semua setuju. Hanya Sinolidi yang membawa anak kecil dalam rombongan Mesale itu.
Sinolidi kemudian menggendong anaknya pulang. Akan tetapi, ditengah perjalanan turun dari bukit yang terjal itu, perlahan awan gelap berkumpul.Hujan mulai turun. Awalnya hanya hujan ringan, tapi kemudian menjadi hujan badai yang dahsyat disertai angin yang kencang. Petir mulai sambar menyambar Sinolidi lalu mempercepat langkahnya.
Saat mendekati sungai yang harus diseberangi, dia mempererat gendongan anaknya. Namun tiba-tiba, suara gemuruh terdengar dari arah hulu. Tak lama, gulungan air berwarna coklat kehitaman datang dengan cepat menuju ke arah Sinolidi dan anaknya. Sinolidi mempercepat langkahnya lalu mulai berlari. Namun sungai berbatu, dengan air deras setinggi lutut dan bebatuan licin menghambatnya. Air bah datang disertai lumpur, menyapu apapun yang dilaluinya. Air bah juga membawa Sinolidi yang berusaha terus berenang sambil menggendong anaknya. Beberapa kali dia berusaha meraih ranting-ranting pohon dan semak yang menjuntai ke Sungai. Namun gulungan air menepis tangannya.
Sinolidi dan anaknya tidak sempat sampai ke tepian.
Setelah hujan mereda, beberapa waktu kemudian, rombongan Mesale tiba di tepi sungai. Sungai masih dilanda banjir, tapi arus air tidak lagi deras. Mereka kemudian menunggu hingga air sungai sedikit surut sebelum menyeberang. Di tepian beberapa orang bercakap-cakap sambil membuat api untuk menghangatkan badan. Mereka membicarakan hujan deras yang tidak disangka bisa menimbulkan banjir besar.
Beberapa warga teringat tentang Sinolidi dan anaknya. Mereka bertanya-tanya, apakah Sinolidi sudah menyeberang sebelum sungai meluap? Atau dia juga sedang menunggu banjir reda di tempat lain?
Beberapa orang kemudian berteriak memanggil nama Sinolidi. Mereka berpikir mungkin dia dan anaknya ada disekitar situ. Namun mereka tidak mendengar jawaban apapun dan tidak menemukan Sinolidi. Hingga akhirnya ketika air sungai sudah surut, warga mulai menyeberangi sungai dengan aman. Tidak berapa lama kemudian, mereka sampai kembali di desa.
Hari sudah gelap.
Mendengar warga yang pergi Mesale telah kembali, Rugalia yang juga sudah kembali di rumah hendak menjemput istri dan anaknya. Dia menanti istri dan anaknya di halaman rumah. Setiap orang yang lewat ditanyainya, apakah melihat Sinolidi dan anaknya. Namun semua yang ditanya tidak tahu.
“Dimana Sinolidi dan anakku?” tanya Rugalia kepada warga yang ikut rombongan Mesale. Beberapa orang kemudian balik bertanya,
“Mereka belum sampai?”
Seorang yang lain kemudian berkata,
“Sinolidi dan anakmu sudah pulang lebih dulu.”
Lalu ada warga yang menambahkan,
“Dia pamit pulang lebih dahulu karena takut terlalu malam di jalan.”
Rugalia yang mulai gelisah, dia bertanya-tanya dimana istri dan anaknya. Jantungnya berdegup kencang. Dia dilanda kepanikan. Dia menyesal membiarkan istri dan anak kecilnya ikut Mesale sementara dia sibuk minum tuak. Rugalia berlari ke rumah Kepala Kampung untuk meminta bantuan. Berita pun menyebar.
Desa Lalambatu gempar. Sinolidi dan anaknya belum kembali. Kepala Desa segera memerintahkan kepada para lelaki yang fisiknya kuat untuk pergi mencari Sinolidi dan anaknya. Malam itu mereka menyusuri kembali jalan pergi dan pulang yang dilalui rombongan mesale tadi.
Tidak ada tanda-tanda keberadaan Sinolidi dan anaknya. Di bukit, di jalan terjal sampai di pinggir tebing. Mereka mulai menyusuri tepian sungai. Tiba-tiba salah seorang warga melihat sebuah tinii yang berputar-putar di atas pusaran air.
“Hei, bukankah itu tinii yang dipakai anaknya Sinolidi?” serunya salah satu warga tersebut. Para warga yang lain kemudian mendekati tepi sungai untuk melihatnya lebih dekat. Namun karena sudah gelap, mereka hanya melihat ada sesuatu yang melayang-layang di atas air.
Salah seorang yang lain kemudian berkata
“Sinolidi dan anaknya tidak dapat ditemukan, tapi ada tinii disini. Apakah benar ini milik mereka?”
Mereka saling berpandangan dan memutuskan untuk pulang dan menyampaikan yang mereka temukan kepada Kepala Desa.
Kepala Kampung yang mendengar cerita tersebut sangat terkejut. Dia kemudian menceritakannya ke Rugalia. Bergegas Rugalia dan warga lain menuju ke lokasi penemuan tinii itu. Ketika tiba di lokasi, Rugalia terduduk lemas. Meski samar-samar dalam gelap, tapi dia bisa mengenali tinii itu. Itu adalah caping yang dibuatnya sendiri khusus untuk anaknya.
Hingga keesokan harinya, warga terus mencari, namun tetap tidak menemukan apa-apa. Mereka sudah menyusuri berkilo-kilo meter sungai, namun tetap tidak menemukan Sinolidi dan anaknya.
Pagi harinya, ketika mereka kembali ke pusaran air sungai, tinii itu terlihat terus berputar. Samar samar dari arah pusaran air itu, beberapa orang mendengar suara seperti suara seorang anak sedang bermain. Beberapa orang lainnya mendengar suara seorang perempuan sedang bersenandung menyanyikan lagu pengantar tidur untuk anak. Ada yang mengenali suara itu
“Itu suara Sinolidi”.
Kepala kampung dan para tetua berembuk. Mereka kemudian sepakat, bahwa Sinolidi dan anaknya hanyut terbawa air banjir. Kepala desa dan para tetua kemudian duduk di tepian sungai itu. Mereka lalu berkomunikasi dengan sungai dan mahluk-mahluk yang hidup di sekitarnya. Meminta agar ikan-ikan, belut, kurakura, dan makhluk lainnya yang ada di sekitar lokasi itu untuk menjaga Sinolidi dan anaknya.
Tak lama di lokasi itu perlahan-lahan muncul batu-batu yang melayang-layang di dalam air. Mereka percaya, itulah Sinolidi dan anaknya yang telah berubah menjadi batu. Demikianlah sampai saat ini, batu itu dinamakan Watu Yano, yang berarti batu yang melayang di dalam air. Watu Yano masih bisa ditemukan di tepi Danau Poso di wilayah Desa Dulumai.