Close Menu
Dongeng PosoDongeng Poso
  • Beranda
  • Penulis
Facebook X (Twitter) Instagram
Dongeng PosoDongeng Poso
  • Beranda
  • Penulis
Dongeng PosoDongeng Poso
Beranda » Manu Warale
Laolita

Manu Warale

Ditulis ulang oleh Agustien Hokey
Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr WhatsApp Email
Share
Facebook Twitter LinkedIn WhatsApp Pinterest Email

Di sebuah desa di kaki bukit Pompangeo, hidup seorang anak perempuan bernama Be’a. Dia adalah anak satu-satunya dari pasangan Datu dan Ndoi Datu. Sejak lahir, Bea tidak disukai ayahnya karena dia perempuan. Meskipun demikian Be’a tetap sayang kepada kedua orang tuanya. 

Be’a tumbuh menjadi anak perempuan yang baik hatinya sehingga dia memiliki banyak teman. Teman-teman Be’a tidak saja manusia, tapi juga para binatang. Kebiasaannya bergaul dengan para binatang, membuat Be’a bisa mengerti apa yang disampaikan para binatang.

Suatu pagi, Be’a terbangun dari tidurnya karena mendengar suara ayah dan ibunya beradu pendapat. Lamat lamat terdengar di telinganya, Ibu marah karena sang ayah punya hutang. Hutang itu sangat besar dan akan membuat mereka kehilangan rumah dan tanah warisan. Mendengar hal itu, tergeraklah hati Be’a untuk menolong  melunasi hutang ayahnya. 

Be’a menyiapkan diri untuk menjalankan rencananya melunasi hutang ayahnya. Be’a mengenakan 7 lapis pakaian laki-laki sehingga penampilannya tidak lagi terlihat sebagai perempuan. Be’a kemudian bergegas akan pergi ke tempat ayahnya berhutang. Tepat sebelum keluar rumah, Be’a bertemu ibu yang sedang menyapu di halaman, 

“Hendak kemana engkau anakku? Mengapa kau berpakaian seperti laki-laki?” tanya Ndoi Datu kepada Be’a.  Datu yang mendengar dari kamar tidur keluar menghampiri Be’a.

“Ibu, ayah, aku pamit. Aku akan pergi ke tempat ayah berhutang. Aku akan membayar lunas semua hutang ayah,” jawab Be’a kepada ibunya.Datu heran mendengar itu

“Apakah kau yakin bisa membayarkan hutangku?”

“Jika aku mampu membayarkan hutang ayah, apakah ayah akan menerimaku sebagai anak?” tanya Be’a kepada Ayahnya. 

Datu sang ayah menganggukkan kepalanya. Ndoi Datu bergegas menyiapkan bekal untuk Be’a. Setelah mendapatkan ijin dari kedua orang tuanya, Be’a memulai perjalanan dengan membawa sedikit bekal makanan dan minuman juga seekor ayam jantan yang sangat indah bulunya. Namanya Manu.

Tanpa diketahui oleh Be’a, ayam jantan itu ternyata adalah ayam ajaib. Manu bisa membantu orang yang disukainya. 

“Bawalah ini sebagai bekal perjalananmu, dan ayam ini sebagai teman di perjalananmu.” 

Dalam waktu singkat, Be’a menjadi akrab dan senang dengan kehadiran Manu menemani perjalanannya. Mereka langsung menjadi teman. Dalam perjalanan, Manu mengajak empat temannya. Mereka adalah Posu, Tuu-Tuu, Boti dan Babi Hutan.  Manui seperti tahu Be’a akan membutuhkan bantuan sepanjang perjalanannya.  Be’a kini tambah senang, karena dia mendapat banyak teman yang akan menemaninya. Setelah berjalan selama satu minggu, tibalah Be’a dan teman-temannya di suatu desa yang dipimpin seorang Tadulako. Kepada Tadulako inilah ayah Be’a mempunyai hutang. 

Setelah menyampaikan salam, Be’a menjelaskan maksud kedatangannya untuk membayar hutang ayahnya. Sang Tadulako berusaha mengingat siapa ayah Be’a untuk tahu jumlah hutangnya. Ketika mengingatnya, Tadulako berkata : 

“Baiklah, begini caranya engkau bisa membayar hutang ayahmu. “Di tanah lapang itu sedang dijemur padi. Kumpulkan semua padi itu, masukkan ke dalam karung. Seharusnya akan ada sebanyak seribu karung. Tidak boleh ada sebutir pun yang tertinggal. Kau harus sudah selesai sebelum matahari terbenam,” 

Sebelum Be’a beranjak, Tadulako melanjutkan perkataannya

“Itu adalah tugas yang pertama. Setelah selesai yang pertama ini, akan ada yang kedua,” 

Be’a menyanggupi. Bersama teman-temannya, Be’a bergegas ke tanah lapang yang ditunjuk Tadulako. Menggunakan gerakan tangan dan sambil berbicara, Be’a mengulang penjelasan Tadulaku kepada teman-temannya. Manu memberikan kode pada Tuu-Tuu untuk menolong Be’a. 

Bersiullah Tuu-Tuu. 

Tak lama kemudian, berdatangan dari berbagai penjuru semua jenis burung pemakan biji-bijian. Be’a dan Tuu-Tuu kemudian menyampaikan sesuatu kepada mereka. Dengancepat, semua burung itu bekerja sama mengumpulkan padi dan memasukkannya ke dalam karung. Karena semua bekerja sama dengan baik, maka selesailah pekerjaan itu sebelum matahari terbenam.

Be’a a kembali kepada Tadulako untuk melaporkan hasil pekerjaannya yang pertama. Tadulako kemudian memerintahkan pengawalnya untuk memeriksa pekerjaan Be’a. 

“Sudah selesai wahai Tadulako. Seribu karung dan tidak ada satu butir pun yang tertinggal,” lapor pengawal. 

Tadulako terkejut dengan hasil tersebut, tapi juga merasa senang. Tadulako kemudian mengundang Be’a dan teman-temannya bermalam dan istirahat di rumahnya. Besok tugas kedua baru akan diberikan.

Keesokan harinya, Tadulako mengajak Be’a dan teman-temannya ke pesisir pantai. Di sana ada banyak pohon kelapa. Uniknya, semua pohon kelapa itu tumbuh menjorok ke arah laut.  Saat jatuh, buah kelapa jatuh di air yang asin.

“Tugasmu adalah mengambilkan semua buah kelapa dari pohonnya. Akan tetapi, buah kelapa itu tidak boleh sebutir pun jatuh ke air laut.Kalau selesai pekerjaanmu dengan baik, kau boleh beristirahat satu malam lagi. Besok akan ada satu pekerjaan lagi untukmu,” 

Boti, salah satu teman Be’a, tanpa diperintah oleh Be’a sudah mengeluarkan suara untuk memanggil semua boti yang ada di hutan. Boti sudah mengerti tugas itu dan tahu perannya untuk membantu. Tak lama kemudian, banyak Boti datang memenuhi panggilan itu. Setelah disampaikan permintaan bantuannya, para Boti itu langsung memanjat pohon kelapa dan memetiknya. Mereka lincah dan sangat cekatan. Tidak ada sebutir pun kelapa yang jatuh ke air asin. Setelah semua selesai, maka berpencarlah kembali para boti kembali ke hutan.

Be’a, pergi menghadap Tadulako menyampaikan tugas kedua sudah selesai. Tadulako memerintahkan pengawal memeriksa hasil pekerjaan mereka. Pengawal kembali dengan cepat melaporkan semua sesuai dengan perintahnya. Tadulako menyuruh mereka makan dan beristirahat agar esok hari bisa melanjutkan ke tugas berikutnya.

Hari ketiga, ketika Be’a dan teman-temannya bangun, mereka langsung menghadap Tadulako, untuk mengerjakan pekerjaan yang ketiga. Tadulako memandang Be’a dan teman-temannya, lalu berkata, 

“Pekerjaan yang ketiga adalah membantu para penduduk. Penduduk desa ini tinggal di pemukiman yang terancam banjir. Coba bantu pikirkan cara agar air dari gunung tidak membanjiri desa kami. Jika kau berhasil dengan tugas yang ketiga ini, maka hutang ayahmu akan lunas.” 

Mendengar tugas ketiga, Be’a keluar dari rumah Tadulako bersama teman temannya menuju ke batas desa.Daerah itu berbatasan langsung dengan sungai yang airnya deras. Babi Hutan kemudian mengajukan diri untuk membantu. Dia bersuara lantang memanggil semua babi hutan yang ada di hutan sekitar Desa. 

Tak lama lalu berkumpullah semua babi hutan. Mereka lalu bekerja menggusur tanah di sekeliling Desa membentuk saluran air. Mereka bekerja bersama-sama, suaranya terdengar hingga ke perkampungan. Mereka menggali dengan kaki mereka yang kuat dan menggaruk dengan taringnya yang panjang. Dalam waktu yang tidak lamasaluran air yang panjang dan dalam, terbentuk. Saluran itu mengelilingi desa dan memecah aliran sungai. Saluran itu membantu mengalirkan air dari sungai ke laut. Tujuannya, agar ketika air sungai meluap, air tidak akan menenggelamkan Desa.Sebelum matahari terbenam pekerjaan sudah selesai. Dengan hati yang gembira, mereka pergi ke rumah Tadulako. Mereka melaporkan pekerjaan mereka yang sudah selesai.

Sesuai janjinya, Tadulako kini sudah menganggap lunas semua hutang ayah Be’a. Be’a senang sekali karena hutang lunas sudah. Akan tetapi, karena hari sudah malam, Tadulako meminta Be’a dan teman-temannya untuk tinggal satu malam lagi.

Sebelum istirahat, Be’a mendapat ide untuk pulang melalui sungai dan menuju ke laut. Jalur ini terasa lebih cepat untuk tiba di desanya. Penduduk desa yang merasa berterima kasih dengan bantuan Be’a dan teman-temannya meminjamkan perahu. Tanpa diketahuinya ternyata ada seorang pemuda yang sudah memperhatikannya Be’a. Pemuda tersebut, adalah anak Tadulako. Be’a tidak mengetahui hal tersebut, tapi Posu tahu.

Keesokan paginya, Be’a dan teman-temannya hendak berangkat meninggalkan Desa Tadulako. Namun sebelum berangkat, ternyata diam-diam Posu melubangi perahu lain yang ada di tepi sungai kecuali perahu yang dipinjamkan kepada mereka. Rupanya Posu tahu, anak Tadulako mengendap-ngendap mengikuti Be’a. Posu tidak mau terjadi sesuatu kepada Be’a, sehingga dia melubangi perahu yang lain.

Setelah semuanya menaiki perahu, mereka memulai perjalanan pulang ke kampung

Malang bagi anak Tadulako. Dia ingin mengikuti Be’a, namun tidak ada perahu yang bisa ditumpanginya. Semua tenggelam terisi air.Tak habis akal, anak Tadulako menemukan satu perahu yang baru saja selesai dibuat di rumah di tepi pantai. Dia kemudian menarik perahu itu ke tepi sungai dan menaikinya serta mendayungnya ke arah laut. Dia berusaha menyusul Be’a dan teman-temannya.

Setelah bermalam-malam berlayar di laut, sampailah Be’a dan teman-temannya di rumah. Ayah dan ibunya menyambut Be’a dengan sukacita, apalagi hutang mereka telah lunas. Pandangan ayah kini berbeda kepada Be’a. Ayah Be’a menyadari, meskipun Be’a seorang perempuan namun bisa berbuat banyak hal untuk keluarga.

Setelah beberapa hari tiba di kampung, tiba-tiba Be’a meminta ijin kepada Ayah dan Ibunya untuk pergi ke atas bukit. Dia bilang akan tinggal di sana. Tentu saja itu dikabulkan oleh Datu dan Ndoi Datu.

Sementara itu, akhirnya sampailah juga si pemuda anak Tadulako di rumah Be’a. Namun, dia tidak menemukan Be’a. Dia hanya bertemu dengan kedua orang tua Be’a. Bertanyalah kemudian si pemuda kepada ayah dan ibu Be’a, “Di mana Be’a? Bolehkah saya menemuinya?”

Datu sang ayah kemudian menjelaskan kalau Be’a sudah tinggal di atas bukit. “Sejak pulang Be’a kemudian tinggal di sana.” begitu kata Datu. Ndoi Datu kemudian menunjukkan arah bukit dan rumah tempat tinggal Be’a. Sang pemuda undur diri, bergegas mencari Be’a ke atas bukit. 

Sesampainya di atas bukit. Bertemulah pemuda anak Tadulako dengan Be’a. Be’a menerima kedatangan pemuda anak Tadulako dengan menjamunya makanan dan minuman. Teman-teman Be’a juga akhirnya menerima si pemuda. Anak muda itu telah membuktikan kesungguhannya untuk menemui Be’a. Selain itu ternyata setelah tinggal beberapa hari, anak muda Tadulako itu terbukti rajin dan baik hati. Kebaikan hatinya dibuktikan saat Be’a jatuh sakit. Dengan tekun, teman-teman Be’a membantunya untuk bisa sembuh. Anak muda Tadulako ikut membantu mengerjakan pekerjaan di rumah.  Rupanya, Be’a sengaja memilih tinggal di atas bukit karena tidak ingin merepotkan ayah ibunya saat sakit. 

Manu, si ayam ajaiblah yang pertama kali menyadari Be’a sedang sakit.  Dia memberitahu teman-temannya sehingga mereka mulai membantu menggantikan pekerjaan di rumah. Manu, menggunakan kelenjarnya untuk membuat obat dari hutan di atas bukit. Obat itulah yang menyembuhkan Be’a. 

Dikisahkan, setelah membuat obat Manu menggali tanah untuk menanam potongan ramuan obat. Setelah beberapa bulan, saat akan menggali kembali tanah untuk meletakkan potongan ramuan obat, Manu menemukan bumbungan rumah berwarna kuning keemasan muncul dari permukaan tanah. Hari berikutnya bukan hanya bumbungan rumah tapi seluruh atap rumah yang sangat besar. Hari-hari berikutnya, di tempat yang sama seluruh rumah yang sangat besar dan indah berdiri. Kemunculan rumah yang bentuknya seperti istana kerajaan itu bersamaan dengan sembuhnya Be’a dari penyakitnya. 

Setelah sembuh, Be’a dan anak muda Tadulako menikah. Mereka hidup bersama bersama Manu si ayam jantan, Posu, Tuu-Tuu, Boti dan babi hutan, di rumah istana yang luas dan indah dengan bahagia.  

Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr WhatsApp Email
Sekretariat Mosintuwu

Add A Comment
Leave A Reply Cancel Reply

Dongeng Lainnya

Burung Kum-Kum dan Burung Alo

By Sekretariat Mosintuwu13 Oktober 2025

Di hutan Poso yang lebat, di berbagai jenis pohon yang rindang, hidup beragam jenis burung.…

Manu Warale

13 Oktober 2025

Tikus Dan Tiram

13 Oktober 2025

Nyanyian Boti

13 Oktober 2025
Penulis

Lian Gogali

Kezia Tabunggi

Indry Kanina

Ferny To’umbo

Hubungi Kami
Hubungi Kami

Gang Mosintuwu No.1 , Yosi, Pamona Puselembah, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Indonesia, 94663.

Telp : 081245734576

sekretariat.mosintuwu@gmail.com

Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest
  • Beranda
  • Penulis
© 2025 Institut Mosintuwu.

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.