Dahulu kala, di Poso terdapat sebuah kerajaan di tepi danau yang indah dikelilingi pegunungan yang membentang. Kerajaan itu bernama Pamona. Seluruh rakyatnya hidup tentram dan makmur karena dipimpin oleh Raja Rumbenunu yang adalah pemimpinnya, seorang raja yang ramah, baik hati, dan bijaksana.
Mata pencaharian rakyat Pamona adalah bertani dan nelayan danau. Raja sering turun ke lahan pertanian secara langsung untuk mengajarkan cara bercocok tanam. Raja dikenal cerdas tentang ilmu pertanian. Selaras dengan musim panen, semua lahan pertanian di Pamona selalu melimpah. Raja Rumbenunu juga mengajarkan nilai kebaikan kepada rakyatnya. Ia langsung mencontohkan budaya hidup tolong menolong yang disebut tuwu malinuwu atau hidup saling berbagi, tuwu siwagi atau hidup saling menolong dan sintuwu maroso atau hidup saling menguatkan. Ia juga selalu mendengarkan jika ada rakyat mempunyai masalah.
Namun, ada sebuah kekhawatiran bagi Raja Rumbenunu dan rakyatnya. Sejak sepuluh tahun lalu, sang Ratu jatuh sakit. Penyakitnya cukup parah sehingga membuatnya tak bisa mempunyai keturunan. Sudah banyak upaya pengobatan diberikan kepada ratu, tetapi tidak berhasil.
Suatu hari Raja Rumbenunu juga jatuh sakit. Raja merasa bahwa hidupnya tak akan lama lagi. Raja lalu menyuruh tetua kerajaan untuk mengumpulkan seluruh rakyat Pamona untuk menyampaikan titahnya.
Rakyat Pamona kemudian berkumpul.
“Rakyat yang aku kasihi, hidupku sudah tak lama lagi. Dengarkan titahku!” Suara raja terdengar lemah dan terdengar bergetar.
“Wahai rakyatku, aku ingin kalian pergi dan berpencar ke tujuh arah mata angin yang berbeda serta hiduplah di tempat-tempat itu.”
Mendengar titah Raja, kegaduhan terjadi. Rakyat tidak percaya apa yang mereka dengar. Tiba-tiba salah seorang mengancungkan tangannya“Raja yang baik, izinkanlah aku bertanya. Mengapa kami harus berpisah? Tak bisakah kami hidup seperti yang selama ini terjadi?”
Raja menjawab “Aku ingin kalian hidup mandiri dan beranak cucu, sembari menjaga kekayaan alam yang ada di berbagai tempat dan di Danau Poso. Oleh karena itu, berpencarlah kalian ke tujuh arah mata angin yang berbeda. Namun ingat! Meskipun kalian terpisah-pisah dan sejauh apapun kalian pergi kalian tetaplah keluarga.”

Sebenarnya, rakyat Pamona merasa sangat berat hati dengan rencana ini. Apalagi mereka akan meninggalkan tempat itu saat keadaan kesehatan Raja kurang baik. Namun mereka juga ingat keadaan Ratu yang tidak bisa memiliki penerus kerajaan. Akhirnya mereka menyadari, ini adalah keputusan terbaik untuk mereka semua untuk tetap berkembang.
Keesokan harinya, rakyat Pamona memulai persiapan untuk menjalankantitah Raja. Dibantu tetua kerajaan, mereka membagi kelompok dan menyusun ke arah mana saja mereka akan berpencar. Beberapa mulai menyiapkan barang-barang bawaan untuk di tempat baru nanti.
Untuk menandakan ke arah mana saja penyebaran rakyat Pamona, tetua kerajaan menanamkan batu di tengah kerajaan. Batu pertama diletakkan di tengah. Ini sebagai penanda bahwa ada rakyat Pamona dan tetua kerajaan yang akan menetap di kerajaan Pamona bersama Raja dan Ratu mereka. Bebatuan kedua yang ditanam adalah tiga buah batu. Batu-batuan tersebut condong ke arah timur. Daerah timur sangatlah luas, sehingga akan ada tiga kelompok rakyat yang akan menyebar ke daerah sana. Batuan ketiga yang ditanam adalah batu yang condong ke arah barat. Batu keempat ditanam ke arah Selatan, dan batuan terakhir ditanam ke arah utara.
Akhirnya persiapan selesai dan keputusan arah bagi masing-masing kelompok disepakati. Melihat rakyatnya telah siap berjalan ke tujuan masing-masing, Raja mengumpulkan mereka kembali dan berpesan :
“Aku mendoakan dan mengharapkan kalian semua akan tiba dengan selamat di tempat tujuan. Saling membantu dan tolong menolonglah di tempat baru. Ingatlah filsafat Mosintuwu, saling bekerjasama. Jangan lupakan asal dan keluarga kalian yang tetap tinggal di sini. Aku berharap di hari kematianku, kalian semua datang dan berkumpul kembali. Datanglah dengan membawa segenggam tanah dari tempat kalian bermukim.”
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Rakyat Pamona sudah mendiami tempat baru di tujuh arah mata angin. Meskipun sudah beradaptasi di tempat baru, namun mereka tetap mengingat darimana mereka berasal.
Hingga suatu hari, terdengar kabar dukacita dari kerajaan Pamona. Raja Rumbenunu telah meninggal dunia.
Seluruh rakyat Pamona diselimuti oleh kesedihan. Mereka kehilangan sosok Raja yang mereka cintai. Mereka mengingat pesan Raja untuk datang dan berkumpul di hari kematiannya. Maka, datanglah rakyat kerajaan Pamona dari tujuh arah mata angin. Masing-masing menempuh perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan. Ada yang berjalan kaki selama lebih dari sebulan. Semua datang dengan membawa segenggam tanah dari tempat mereka bermukim.
Saat tiba hari pemakaman Raja Rumbenunu, ribuan orang sudah mengelilingi kuburan raja. Terlihat kesedihan yang mendalam di raut wajah semua orang yang hadir. Perlahan-lahan, masing-masing melemparkan tanah yang ada di dalam genggaman mereka ke kuburan Raja. Karena banyaknya rakyat Pamona yang datang, kuburan Raja lalu menjadi sebuah bukit kecil dari lemparan tanah segenggam setiap yang datang.
Bukit yang merupakan makan Raja kemudian diberi nama Bukit Pamona. Di sekitar bukit tersebut, terdapat tujuh buah batu yang telah ditancap oleh tetua sebagai penanda kemana rakyat Pamona berpencar. Bebatuan tersebut kemudian dikenal dengan nama Watu Mpoga’a, yang artinya batu perpisahan.
Hingga saat ini Watu mPoga’a masih dapat dilihat di Pamona.
Ditulis ulang oleh Echa Torokano