Di sebuah kampung yang terletak di tepi danau Poso, hiduplah seorang perempuan paruh baya bernama Dilana. Dia dikenal tertutup dan pendiam. Aktivitasnya lebih banyak di rumah. Meski demikian, Dilana juga dikenal sangat rajin berkebun dan memancing di sungai. Warga di kampung juga beberapa kali melihatnya di pasar, saat menjual hasil kebun dan ikan hasil memancingnya.
Dilana tinggal di rumah panggung di tepi danau. Dia tinggal bersama seekor kucing bernama Nggaru. Nggaru berbulu putih bersih dan tubuhnya sedikit gemuk. Dilana sangat menyukai kucingnya dan sering mengajaknya bermain. Nggaru adalah satu-satunya teman bagi Dilana.
Pada suatu sore sepulang dari kebun, setelah membersihkan diri, Dilana duduk menjahit bajunya yang sobek. Tidak banyak yang tahu, Dilana suka menjahit bajunya sendiri yang terbuat dari kulit kayu. Warga desa menyebut kain kulit kayu, ranta. Nggaru menemani di sampingnya sambil tiduran. Saat sedang menjahit itu, tiba tiba Dilana mendengar suara memanggilnya.
“Dilana, apakah kamu ada di rumah?” Jika Dilana di rumah, dia tidak mau bertemu orang lain. Apalagi jika sedang melakukan sesuatu, dia tidak mau diganggu. Dia mengabaikan panggilan tetangganya dan meneruskan menjahit. Dilana berusaha tidak menimbulkan suara, agar tetangganya tidak tahu bahwa dia ada di dalam rumah. Hanya Nggaru yang mengeluarkan suara “meong” dengan pelan.
Setelah beberapa saat, suara memanggil itu sudah tidak terdengar lagi. Dilana bangkit dari tempat duduknya untuk mengambil air minum. Namun kakinya terasa kram karena lama duduk dengan posisi yang sama dan tidak bergerak. Dilana berdiri diam dan mencoba meluruskan kakinya. Tiba-tiba jarum jahit yang sedang dipegangnya terlepas dan jatuh. Awalnya terselip di antara papan lantai rumah. Saat mencoba menjangkaunya, jarum itu jatuh ke kolong rumah.
Dilana tidak mau keluar rumah untuk mengambil jarum yang jatuh. Dia tidak mau tetangganya melihat dan memanggilnya. Setelah kram di kaki terasa sudah lebih baik dan sehabis minum air, Dilana duduk kembali di tempatnya menjahit.
Dilana ingin melanjutkan menjahit, tapi dia ternyata tidak memiliki jarum jahit lagi. Satu-satunya jarum jahit yang dimiliki adalah yang sekarang ada di kolong rumah panggungnya. Dilana minta tolong ke Nggaru kucingnya.
“Nggaru, ambilkan saya jarum di kolong rumah” ujarnya kepada Nggaru. Namun Nggaru hanya menggeliat sambil tetap tiduran. Dilana mencoba menyuruh Nggaru kedua kalinya.
“Nggaru, cepat ambilkan saya jarum di kolong”
Nggaru hanya memandangnya dan belum bergerak.
Ketiga kalinya, Dilana menghardik Nggaru dan menepis ekornya sambil berseru.
“Cepat ambilkan saya jarum yang jatuh di bawah kolong!”
Nggaru akhirnya bergerak, dengan lincah menyelinap melalui jendela, lalu turun tangga menuju kolong rumah. Nggaru berhasil mengambil jarum jahit Dilana, yang terbuat dari tulang hewan yang kecil. Dia membawanya dengan cara digigit di mulutnya.
Tiba-tiba hujan turun. Deras sekali. Petir menggelegar, suaranya keras. Nggaru diam terpaku lama di kolong rumah. Nggaru berlindung dari hujan dan petir itu, sambil menggigit jarum jahit di mulutnya.
Akibat hujan yang sangat deras, air danau yang terletak dekat dengan rumah Dilana i meluap. Airnya yang semakin tinggi mengalir ke arah rumah-rumah di desa. Teriakan warga mulai terdengar “Air danau naik, air danau naik! Cepat selamatkan diri!” Namun Dilana tetap tidak mau keluar dari rumahnya.
Di bawah kolong,Nggaru menaiki tangga rumah panggung. Air sudah memenuhi kolong rumah. Air danau naik sangat cepat, mengikuti langkah kaki Nggaru menaiki tangga rumah.
Dalam waktu singkat, kini air danau sudah mencapai bagian lantai rumah.
Dilana terkejut, sayup-sayup dia mendengar suara teriakan warga yang menyebut namanya,
“Dilana, selamatkan dirimu! Air danau naik!”
Namun sudah terlambat untuk menyelamatkan diri. Saat Nggaru masuk ke dalam rumah, air juga ikut masuk. Bahkan, air semakin tinggi menutupi rumah.
Beberapa hari kemudian, air danau surut kembali. Warga kembali ke desa untuk memeriksa tempat tinggal mereka. Mereka terkejut mendapati rumah Dilana sudah tidak ada. Di tempat rumah Dilana berdiri, di tempat Dilana biasa duduk menjahit, disana hanya ada batu hitam yang sangat besar ukurannya.
Hingga saat ini, warga di sekitar Danau Poso menyebut batu hitam itu Watu Dilana, atau Batu Dilana.